Saat berada di darat, ada dua respon yang normal dari orang-orang ketika tahu bahwa aku adalah pelaut.
Respon pertama biasa datangnya dari anak-anak kecil dan remaja; mereka mengajukan beberapa pertanyaan seperti ini:
“Berapa banyak hartamu/istrimu?”
“Pernah melihat monster laut?”
sampai,
“Berapa banyak kapal yang sudah kamu jarah?”
Hmm, memangnya aku bajak laut? Aku hanya pelaut biasa. Kapal tempat aku bekerja memang membawa banyak harta, tapi itu bukan milikku. Kapalku hanyalah kapal dagang pembawa barang-barang berharga ke seberang lautan.
Respon kedua adalah tatapan sedih sambil menggelengkan kepala; kok mau jadi pelaut, jauh dari tempat hiburan, bertemu orang yang itu-itu aja, belum lagi badai dan gelombang besar.
Tapi… kadang-kadang aku bingung juga sih mengapa aku menjadi pelaut. Kejadiannya sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Entah dulu aku yang memilih menjadi pelaut atau takdir yang memilih aku, setelah sekian lama aku tidak memikirkannya lagi.
Dan… di sinilah aku, berbaring beralaskan lantai keras geladak di buritan sebuah kapal layar.
Tempat ini merupakan tempat favoritku, tentu saja setelah ‘menara’ pengawas di puncak tiang utama. Tempat-tempat seperti ini cocok digunakan untuk melamun, terbang jauh, tidak dibatasi tubuh yang diombang-ambingkan ombak.
Malam ini bukan jadwal piketku untuk berjaga-jaga. Sayangnya langit malam ini terlalu indah untuk dilewatkan.
Aku senang melihat bintang-bintang. Bintang-bintang lebih dapat dipercaya dibanding manusia. Hampir semua bintang setia dan tetap pada tempatnya selama ribuan tahun. Kalau pun ada bintang yang bergerak sepanjang malam, gerakannya dapat diprediksi.
Pari di selatan, Biduk di utara. Tidak lupa tiga bintang sejajar dari rasi Waluku yang mudah dikenali. Malam ini juga menjadi saksi dua bintang cerah yang berdansa tepat di atas kepala; Respati si putih cerlang dan juga si merah Anggara yang menakjubkan. Momen seperti ini tidak terjadi setiap tahun. Kedua bintang ini memiliki gerakan yang berbeda dan tidak selaras dengan bintang-bintang lainnya. Selain itu, aku tidak pernah melihat mereka berkedip seperti bintang-bintang lainnya.
Sepertinya aku sudah cukup puas dengan pemandangan ini.
Aku bangkit dan berjalan menuruni tangga ke geladak bawah dan sampai ke lambung kapal. Meriam-meriam berukuran sedang terpasang kokoh di tiap sisi kapal.
Kapan terakhir kali kami menggunakan meriam-meriam ini?
Akhir-akhir ini merupakan pelayaran paling aman dalam hidupku. Sedikit badai dan kami tidak pernah bertemu bajak laut. Itulah sebab kami tidak pernah menggunakan meriam-meriam ini. Gemas rasanya ingin mengisi peluru dan membakar sumbunya, terutama meriam putih yang kuberi nama Astra yang bahkan tak pernah digunakan sejak aku membelinya empat tahun yang lalu. Padahal meriam ini adalah model terbaru.
Aku naik kembali ke haluan untuk melihat jauh ke kegelapan malam yang berusaha ditembus oleh kapal ini. Dari anjungan terlihat pak nahkoda yang memberikan isyarat ‘hati-hati’ padaku. Seingatku dia jarang sekali bicara. Setiap kru kapal sudah terlatih untuk memahami bahasa isyaratnya.
Di haluan ini sering terjadi kecelakaan yang dialami kru-kru kapal junior yang keasyikan bermain dan tergelincir jatuh ke laut. Dulu beberapa kali aku jatuh, dan beberapa kali juga seniorku terjun dan menyelamatkanku. Sekarang giliranku yang terjun dan menyelamatkan orang-orang yang jatuh dari haluan.
Kapal merupakan satu-satunya tempat yang aman di lautan. Kami tidak dapat hidup tanpa kapal. Itulah mengapa semua kru perlu sadar akan betapa berbahayanya jatuh dari kapal, apalagi di tengah malam seperti ini.
Aku berjalan mendekati anjungan. Pada kontak mata yang pertama, pak nahkoda memberi pesan ‘ganti sebentar’ kepadaku. Sepertinya ia ingin ke belakang.
Aku memegang kokoh roda kemudi yang kecil. Walaupun kecil, kemudi ini sanggup mengarahkan kapal ke pelabuhan selanjutnya. Semua kru kapal memiliki spesialisasi masing-masing, namun tidak ada ego yang lebih besar dari kapal ini. Semua orang bisa digantikan.
Jika suatu saat aku pensiun, kapal ini akan tetap berlayar tanpa aku. Astra dapat ditembakkan tanpa persetujuanku. Ok, mungkin tidak juga. Mungkin meriamnya akan dijual karena rumit sekali menggunakannya. Aku masih diprotes karena membeli sesuatu yang tidak bisa digunakan semua orang – ”Harusnya kita beli meriam ini 10 atau 20 tahun lagi!” – Kira-kira seperti itu. Sepuluh atau dua puluh tahun atau tak pernah sama sekali, sama saja bagiku. Huft.
Aku melayangkan pandangan ke depan. Hanya ada kegelapan, namun aku harap ini arah yang benar.
Semoga kompas kapal masih berfungsi sebagaimana mestinya. Kompas ini sudah ada sejak kapal ini pertama kali berlayar. Huruf penanda arah utara, barat dan selatan sudah mulai buram. Namun setidaknya gambar mawar kecil terlihat jelas dibawah jarum kompas. Aku bertanya-tanya, jika suatu saat nanti semua penanda arah sudah tak terbaca lagi , apakah mawar ini masih bisa disebut wind rose – mawar kompas?
Aku menyerahkan kemudi kepada pak nahkoda ketika ia kembali ke anjungan. Aku keluar, perlahan melangkahkan kaki dan memandang jauh ke kaki langit. Cahaya keemasan muncul di bawah Kejora.
Pagi.
Andai saja aku punya sayap…
Bukan…
Andai saja sayap-sayap ini dapat ku pakai terbang.